MENGAPA DEBAT CAPRES KINI MENJADI LEBIH PENTING?
Titi Anggraini, pakar kepemiluan di Universitas Indonesia, sepakat bahwa semakin banyak pilihan maka semakin baik.
Karena akan ada beberapa kali debat nasional yang diikuti para capres-cawapres, maka penampilan dan cara mereka menjual gagasan akan sangat penting untuk memikat pemilih, kata Titi.
"Dengan dua pasang calon, debat menjadi penting. Tapi jika ada tiga pasang, maka debat akan lebih penting lagi.
"Saat ini, tidak ada pasangan yang dominan, dan masih banyak pemilih yang belum memutuskan atau swing voter yang akan menonton debat untuk menentukan pilihan mereka," kata dia.
Berdasarkan beberapa jajak pendapat, ada sekitar 20 hingga 30 persen swing voter untuk pemilu tahun depan.
Titi dan Wawan sama-sama mengatakan bahwa pertarungan memperebutkan suara antara ketiga pasang calon akan berlangsung sengit di Jawa, pulau tempat tinggal lebih dari setengah populasi Indonesia.
"Jika ada satu pasangan yang mendapatkan mayoritas suara di Jawa - maka jumlahnya sudah setengah dari total pemilih di Indonesia," kata Titi.
Pemerintah mengatakan, pemilu dua putaran akan membutuhkan anggaran yang lebih besar.
Pada pertengahan September lalu ketika ditanya wartawan apakah ada anggaran untuk dua putaran pemilu, Jokowi menjawab: "Tanya menteri keuangan, pasti disiapkan."
Menurut Titi, kecil kemungkinannya ada pasangan yang bisa menang satu putaran pada pemilu kali ini. Pasalnya, tidak ada petahana di antara para kandidat. Selain itu, tingkat popularitas mereka saat ini masih berkisar antara 20 hingga 36 persen.
Oleh karena kian sulit untuk menang, kata Titi, maka ketiga pasang calon kemungkinan akan semakin memanfaatkan para pemuka agama yang memiliki banyak pengikut.
Dalam sejarahnya, para pemuka agama di Indonesia adalah orang-orang yang berpengaruh.
Mereka memimpin kelompok-kelompok keagamaan dengan jumlah pengikut yang banyak seperti Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia dan dunia, serta Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia.
Kedua organisasi tersebut diyakini mampu memengaruhi para pengikut mereka untuk memilih calon pemimpin.
Dengan adanya tiga pasang calon, berarti yang berebut dukungan para pemuka agama ini semakin banyak. Titi mengatakan, para calon akan berusaha keras untuk memikat hati mereka.
Meski undang-undang pemilu melarang tempat ibadah digunakan untuk kampanye, namun menurut pengamat masih ada wilayah abu-abu yang akan menyulitkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menetapkan pelanggaran.
"Misalnya, tidak ada larangan mengunjungi pesantren, dan kita semua tahu pihak berwenang (Bawaslu) tidak memiliki banyak akses ke tempat tersebut," kata Titi.
Di pesantren inilah para pemuka agama kebanyakan menghabiskan waktu mereka. Para santri yang mayoritas adalah pemilih pemula sangat menghormati mereka.
Apapun yang dikatakan pemimpin pesantren, maka para santri kemungkinan besar akan mematuhinya.
Jika seorang pemuka agama mendukung calon tertentu, para santri juga dapat melakukan hal yang sama, ujar Titi.
Politik identitas juga akan banyak digunakan untuk mendulang suara.
"Para nasionalis akan mencitrakan diri mereka sebagai seorang yang agamis, sementara yang Islamis akan menonjolkan nasionalisme mereka tanpa menghilangkan identitas keislamannya," kata dia.
Konsekuensinya, kemungkinan besar masyarakat Indonesia akan lebih terpolarisasi dibandingkan pemilu 2019, ketika Islam digunakan sebagai alat kampanye baik oleh Prabowo dan Jokowi yang keduanya sama-sama Muslim.
Akan lebih mudah mencegah polarisasi jika pemilu hanya satu putaran, kata Titi.
Dengan pemilu dua putaran, maka pasangan yang berada di posisi ketiga akan berkonsolidasi dengan pasangan lainnya pada putaran kedua, dan semuanya akan menciptakan berbagai isu kontroversial untuk bisa menang.
"Jadi tiga pasangan calon itu baik, selama berakhir di satu putaran."
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.