Advertisement

Indonesia

Pengamat: Polarisasi intai Indonesia saat tiga pasang capres berebut dukungan pemuka agama

Untuk pertama kalinya dalam 15 tahun, masyarakat Indonesia dihadapkan pada pilihan tiga pasang capres-cawapres.

Pengamat: Polarisasi intai Indonesia saat tiga pasang capres berebut dukungan pemuka agama
Pengendara mobil melewati deretan spanduk politik yang mempromosikan calon presiden dan calon anggota legislatif di pinggiran kota Depok. (Foto: CNA/Wisnu Agung Prasetyo)
New: You can now listen to articles.
Sorry, the audio is unavailable right now. Please try again later.

This audio is AI-generated.

30 Oct 2023 12:34PM

JAKARTA: Masyarakat Indonesia akan menuju tempat pemungutan suara pada 14 Februari tahun depan dan memilih satu dari tiga pasang calon presiden dan wakil presiden untuk menjadi pemimpin mereka berikutnya. Ini adalah kali pertama sejak 2009 ada tiga pasang calon yang berkompetisi dalam pemilu presiden.

Para pengamat kepada CNA mengatakan, keberadaan lebih dari dua pasang calon akan memberikan opsi lebih banyak bagi para pemilih.

Hal ini juga akan mendorong para kandidat untuk membuat program-program yang lebih baik demi memikat hati pemilih.

Namun dengan ketatnya persaingan, para kandidat kemungkinan akan menggunakan politik identitas untuk memperoleh dukungan, yang akan berujung terpolarisasinya masyarakat.

Foto gabungan dari para calon presiden Indonesia: Calon dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Ganjar Pranowo (Foto: PDI-P), mantan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto (Reuters/Willy Kurniawan) dan mantan gubernur Jakarta Anies Baswedan (Reuters/Beawiharta).

SIAPA SAJA KETIGA PASANGAN TERSEBUT?

Ketiga pasangan terdiri dari mantan gubernur Jakarta Anies Baswedan, 54 dan ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, 57.

Pasangan lainnya adalah mantan gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, 55, dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD, 66.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, 72, juga mencalonkan diri sebagai presiden untuk yang ketiga kalinya, berpasangan dengan walikota Solo Gibran Rakabuming Raka, 36, putra sulung Presiden Joko Widodo.

Untuk memenangi pemilu, undang-undang mensyaratkan pasangan capres-cawapres harus mendapatkan lebih dari 50 persen suara. Pada pemilu presiden tahun depan, ada 204,8 juta pemilih yang layak menggunakan hak pilihnya.

Dari 50 persen suara yang diperoleh ini, pasangan calon harus mendapatkan sedikitnya 20 persen suara di lebih dari setengah dari 38 provinsi di Indonesia.

Misalnya seperti pada pemilu sebelumnya tahun 2019 dengan dua pasang calon, Presiden Joko Widodo dan Ma'ruf Amin berhadapan dengan Prabowo dan Sandiaga Uno yang sekarang menjabat Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.

Jokowi dan Ma'ruf mendapatkan sekitar 55,5 persen suara pemilih, sementara Prabowo dan Sandiara 44,5 persen.

Pasangan Jokowi-Ma'ruf juga unggul di 21 dari 34 provinsi, menjadikan mereka sebagai pemenang pemilu.

FOTO ARSIP: Seorang pekerja mempersiapkan kotak suara di sebuah gudang sebelum didistribusikan ke TPS di Jakarta, Indonesia, pada 15 April 2019. REUTERS/Willy Kurniawan /File Photo

Tapi dengan tiga pasang calon pada pemilu kali ini, situasinya akan sedikit berbeda.

Berdasarkan undang-undang pemilu, jika tidak ada satu pun dari mereka yang mendapatkan lebih dari 50 persen suara, maka dua pasangan dengan suara terbanyak akan memasuki putaran kedua.

Melihat hasil survei yang menunjukkan tidak adanya pasangan dengan tingkat popularitas lebih dari 50 persen, maka Indonesia sepertinya akan menggelar pemilu putaran kedua yang dijadwalkan digelar 26 Juni tahun depan.

Berdasarkan hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 22 Oktober, Prabowo dan Gibran memimpin dengan tingkat popularitas 35,9 persen, diikuti pasangan Ganjar dan Mahfud dengan 25,1 persen.

Di posisi ketiga adalah Anies dan Muhaimin dengan tingkat popularitas hanya 19,6 persen.

Terakhir kali Indonesia melaksanakan pemilu dengan tiga pasangan adalah pada 2009. Ketika itu, presiden petahana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berhadapan dengan wakil presidennya Jusuf Kalla dan pendahulunya, mantan presiden Megawati Soekarnoputri.

SBY menang pemilu dalam satu putaran setelah berhasil mengantongi 60,8 persen suara pemilih. Para pemilih mengatakan, SBY sebagai petahana ketika itu diuntungkan dengan program-program pemerintahannya yang jelas dan masih berjalan, serta mesin politik yang stabil.

MENGAPA BISA ADA TIGA PASANGAN CAPRES-CAWAPRES?

Wawan Mas'udi, dosen ilmu sosial dan politik di Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan jumlah pasangan capres-cawapres kali ini adalah hasil dari negosiasi para elite politik dalam membentuk koalisi.

Wawan yang juga dekan fakultas sosial dan politik UGM, menjelaskan bahwa pembentukan koalisi didasari pada kepentingan masing-masing, seperti pembagian kekuasaan atau mendorong kebijakan untuk memajukan perekonomian atau bidang usaha tertentu.

"Merekrut presiden Indonesia berikutnya adalah proses yang sangat tertutup dan hanya bisa ditentukan oleh para elite.

"Proses ini berbeda dengan beberapa negara bersistem presidensial lainnya, misalnya AS yang memiliki pemilu primer dan seterusnya," kata Wawan.

Selain sistem presidensial, Indonesia juga mengadopsi sistem multi-partai dengan sembilan partai politik di parlemen.

Tapi menurut Wawan, ideologi partai-partai di Indonesia tidak selalu konsisten dan koalisi yang mereka bentuk didasarkan atas kebutuhan sendiri.

"Partai konservatif di negara-negara Barat, misalnya, tidak akan bisa membentuk koalisi dengan partai sayap-kiri atau sosialis karena ideologinya yang berbeda," kata dia.

Tetapi, perbedaan ideologi seperti itu tidak ditemukan di Indonesia. 

TIGA PASANG LEBIH BAIK DARI PADA DUA?

Wawan mengatakan kini masyarakat memiliki opsi lebih banyak dengan adanya tiga pasang capres-cawapres. Persaingan ini akan membuat para calon pemimpin bekerja keras memperkaya program-program mereka untuk meyakinkan pemilih.

Keberadaan tiga pasang calon akan memberikan ruang lebih banyak bagi para pemilih untuk berdiskusi, berdebat dan memahami para capres dan cawapres mereka dengan lebih baik, kata Kevin O'Rourke, pengamat di firma konsultan politik Jakarta, Reformasi Information Services. 

Dia menambahkan bahwa negara demokrasi yang masih muda seperti Indonesia perlu lebih banyak pemilu dan kandidat, terutama mengingat negara ini pernah dipimpin secara otoriter oleh presiden yang sama selama 32 tahun.

Indonesia dipimpin oleh presiden kedua, Soeharto, sejak 1966 hingga 1998 ketika dia dipaksa lengser setelah gelombang protes dan kerusuhan terjadi di seantero negeri.

Mundurnya Soeharto membuka jalan bagi demokratisasi di Indonesia. Negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara ini sekarang merupakan negara demokrasi ketiga terbesar dunia setelah India dan Amerika Serikat.

"Pada dasarnya, adanya ini (banyaknya pilihan capres) akan memberikan wawasan kepada masyarakat umum tentang politik dan pembuatan kebijakan, dan wawasan-wawasan ini  sangat dibutuhkan oleh para elite nasional. Jadi, lebih banyak kandidat, maka lebih baik," ujar dia.

MENGAPA DEBAT CAPRES KINI MENJADI LEBIH PENTING?

Titi Anggraini, pakar kepemiluan di Universitas Indonesia, sepakat bahwa semakin banyak pilihan maka semakin baik.

Karena akan ada beberapa kali debat nasional yang diikuti para capres-cawapres, maka penampilan dan cara mereka menjual gagasan akan sangat penting untuk memikat pemilih, kata Titi.

"Dengan dua pasang calon, debat menjadi penting. Tapi jika ada tiga pasang, maka debat akan lebih penting lagi.

"Saat ini, tidak ada pasangan yang dominan, dan masih banyak pemilih yang belum memutuskan atau swing voter yang akan menonton debat untuk menentukan pilihan mereka," kata dia.

Berdasarkan beberapa jajak pendapat, ada sekitar 20 hingga 30 persen swing voter untuk pemilu tahun depan.

Titi dan Wawan sama-sama mengatakan bahwa pertarungan memperebutkan suara antara ketiga pasang calon akan berlangsung sengit di Jawa, pulau tempat tinggal lebih dari setengah populasi Indonesia.

"Jika ada satu pasangan yang mendapatkan mayoritas suara di Jawa - maka jumlahnya sudah setengah dari total pemilih di Indonesia," kata Titi. 

Pemerintah mengatakan, pemilu dua putaran akan membutuhkan anggaran yang lebih besar.

Pada pertengahan September lalu ketika ditanya wartawan apakah ada anggaran untuk dua putaran pemilu, Jokowi menjawab: "Tanya menteri keuangan, pasti disiapkan."

Menurut Titi, kecil kemungkinannya ada pasangan yang bisa menang satu putaran pada pemilu kali ini. Pasalnya, tidak ada petahana di antara para kandidat. Selain itu, tingkat popularitas mereka saat ini masih berkisar antara 20 hingga 36 persen.

Oleh karena kian sulit untuk menang, kata Titi, maka ketiga pasang calon kemungkinan akan semakin memanfaatkan para pemuka agama yang memiliki banyak pengikut.

Dalam sejarahnya, para pemuka agama di Indonesia adalah orang-orang yang berpengaruh.

Mereka memimpin kelompok-kelompok keagamaan dengan jumlah pengikut yang banyak seperti Nahdlatul Ulama, organisasi Islam terbesar di Indonesia dan dunia, serta Muhammadiyah, organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia.

Kedua organisasi tersebut diyakini mampu memengaruhi para pengikut mereka untuk memilih calon pemimpin.

Dengan adanya tiga pasang calon, berarti yang berebut dukungan para pemuka agama ini semakin banyak. Titi mengatakan, para calon akan berusaha keras untuk memikat hati mereka.

Meski undang-undang pemilu melarang tempat ibadah digunakan untuk kampanye, namun menurut pengamat masih ada wilayah abu-abu yang akan menyulitkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menetapkan pelanggaran.

"Misalnya, tidak ada larangan mengunjungi pesantren, dan kita semua tahu pihak berwenang (Bawaslu) tidak memiliki banyak akses ke tempat tersebut," kata Titi.

Di pesantren inilah para pemuka agama kebanyakan menghabiskan waktu mereka. Para santri yang mayoritas adalah pemilih pemula sangat menghormati mereka.

Apapun yang dikatakan pemimpin pesantren, maka para santri kemungkinan besar akan mematuhinya.

Jika seorang pemuka agama mendukung calon tertentu, para santri juga dapat melakukan hal yang sama, ujar Titi.

Politik identitas juga akan banyak digunakan untuk mendulang suara.

"Para nasionalis akan mencitrakan diri mereka sebagai seorang yang agamis, sementara yang Islamis akan menonjolkan nasionalisme mereka tanpa menghilangkan identitas keislamannya," kata dia.

Konsekuensinya, kemungkinan besar masyarakat Indonesia akan lebih terpolarisasi dibandingkan pemilu 2019, ketika Islam digunakan sebagai alat kampanye baik oleh Prabowo dan Jokowi yang keduanya sama-sama Muslim.

Akan lebih mudah mencegah polarisasi jika pemilu hanya satu putaran, kata Titi.

Dengan pemilu dua putaran, maka pasangan yang berada di posisi ketiga akan berkonsolidasi dengan pasangan lainnya pada putaran kedua, dan semuanya akan menciptakan berbagai isu kontroversial untuk bisa menang.

"Jadi tiga pasangan calon itu baik, selama berakhir di satu putaran."

Baca artikel ini dalam bahasa Inggris di sini.

Source: CNA/da(ih)

Advertisement

Also worth reading

Advertisement