Singapura pada 2024 akan memulai sebuah proyek konservasi kelautan yang ambisius dengan menanam 100.000 terumbu karang di perairan mereka.
SINGAPURA: Singapura akan memulai sebuah inisiatif untuk memulihkan terumbu karang dengan menanam 100.000 terumbu karang di perairan mereka. Menurut ahli biologi terumbu karang Karenne Tun, ini adalah sebuah "proyek ambisius" Singapura demi pelestarian sumber daya kelautan.
Terumbu karang itu akan ditanam dan ditumbuhkan secara bertahap di perairan Singapura mulai tahun 2024, dengan tujuan untuk memperkaya keanekaragaman hayati serta meningkatkan ketahanan komunitas terumbu karang.
Terumbu karang adalah sebuah ekosistem dinamis yang terancam oleh menghangatnya suhu planet dan aktivitas manusia. Tanpa campur tangan yang serius, sebagian besar terumbu karang akan hilang pada 2035.
Para ahli mengatakan, pemulihan terumbu karang Singapura akan menjadi proyek yang menantang.
"Jika berbicara tentang lingkungan kelautan, semuanya adalah tantangan," kata Dr Tun yang merupakan direktur badan pesisir dan kelautan di Pusat Keanekaragaman Hayati Nasional, bagian dari Dewan Taman Nasional Singapura (NParks).
"Proyek ini dikerjakan dalam lingkungan yang asing. Untuk masuk ke dalam air, pada dasarnya kita membutuhkan peralatan dan menghirup udara dari tabung terkompresi. Itu bukanlah sesuatu yang normal bagi kita."
Waktu untuk berada di dalam air juga terbatas, imbuh Dr Tan yang memiliki tim khusus untuk melindungi keragaman hayati kelautan dan pesisir di Singapura.
"Semakin dalam kita menyelam, maka semakin sedikit waktu yang dimiliki di dalam air."
Keterbatasan lainnya, terumbu karang harus ditumbuhkan di fasilitas khusus.
Saat ini NParks bekerja sama dengan berbagai mitra untuk mengembakbiakkan terumbu karang dalam jumlah besar di dalam tangki-tangki, salah satunya dengan Laboratorium Kelautan St John's Island.
"Dalam 10 tahun terakhir, kami telah mendapatkan banyak pengetahuan untuk bisa melakukan ini dengan baik, tapi butuh waktu untuk menjalankannya dengan tepat," kata Dr Tun, menambahkan bahwa proyek ini juga menjadi kesempatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
"Dari sudut pandang habitatnya, kami mencoba melihat bagaimana menerapkan strategi yang telah dipelajari, terutama dalam satu dekade terakhir ketika diperoleh banyak pembelajaran dan teknik pemulihan, dan kami mencoba menerapkannya dengan harapan dapat memaksimalkan peluang keselamatan dan penanaman kembali terumbu karang."
Jika dibandingkan disiplin ilmu lainnya, ilmu terkait terumbu karang tergolong masih baru. Pembelajaran mengenai terumbu karang baru muncul ketika selam skuba bisa diakses oleh semua orang, kata Dr Tun dalam siniar Climate Conversations CNA.
"(Pengetahuan soal terumbu karang) mungkin baru ada sekitar 50, 60 tahun, ketika orang mulai mengumpulkan data-data. Jadi kami memiliki dasar historis yang bisa diperbandingkan."
Di Singapura, kata Dr Tun, data pertama mengenai terumbu karang muncul sekitar akhir tahun 1980-an. Satu dekade setelahnya, pemantauan menunjukkan adanya penurunan terumbu karang.
"Ketika itu, tentu saja, belum ada banyak pengetahuan atau kesadaran mengenai lingkungan kelautan dan dampak-dampaknya."
Ketika kesadaran akhirnya muncul, tindakan mulai diambil di tataran akademisi dan pemerintahan.
Pada pertengahan 2000-an, kondisi terumbu karang "mengalami perbaikan kembali ke kondisi seperti tahun 1980-an" dan semenjak itu terus stabil.
"Yang membuat saya terkejut adalah: Alam memang sensitif, tapi juga tangguh," kata Dr Tun.
"Alam sensitif, mudah sekali dihancurkan, tapi jika kita memberikannya waktu dan sedikit kasih sayang, alam bisa pulih."
Terumbu karang adalah "salah satu hewan paling sederhana", kata Dr Tun yang punya hobi menyelam. "Itu adalah hal menaik lainnya tentang terumbu karang. Mereka adalah hewan dan sebagai hewan, mereka bisa diberi makan.
"Terumbu karang juga memiliki hubungan simbiosis yang menarik dengan alga yang hidup di dalam karang sehingga memberikan mereka warna. Jadi karang tanpa alga akan berwarna pucat."
Di perairan Singapura, terumbu karang biasanya berwarna coklat karena cahaya di sekitarnya.
Namun di perairan yang lebih jernih dengan sinar ultraviolet yang menembus kedalaman air, terumbu karang bisa berwana merah muda, biru dan hijau, kata Dr Tun.
"Jadi terumbu karang bisa sangat berwarna-warni, terutama ketika mendapatkan paparan sinar UV yang cukup."
Dr Tun mengatakan, "Manusia harus menyadari bahwa keberadaan kita sangat bergantung pada lingkungan di berbagai tingkatan, entah itu terumbu karang, hutan hujan atau hutan bakau."
Terumbu karang menempati kurang dari 1 persen dari lautan.
"Tapi karena terumbu karang sangat banyak jenisnya, banyak dari keberagaman di dunia bergantung secara langsung atau tidak langsung dengan terumbu karang. Jadi, hingga 25 persen hewan yang kita temukan di lingkungan kelautan memiliki ketergantungan pada terumbu karang," kata Dr Tun.
Berbagai jenis ikan, misalnya, bergantung pada terumbu karang sebagai sumber makanan atau perlindungan.
"Tanpa terumbu karang, sumber protein akan berkurang, karena pada dasarnya kita tidak bisa lagi mendapatkan ikan sebagai sumber protein. Dan hal itu menjadi ancaman bagi keberadaan manusia."
Meski adanya aksi global untuk menyelamatkan terumbu karang, namun masih banyak yang harus dilakukan bagi mereka yang bergantung pada karang, seperti para nelayan.
"Dibandingkan kita, para nelayan inilah yang akan menanggung derita akibat hilangnya terumbu karang," kata Dr Tun.
"Saya kira hal ini harus diangkat dalam percakapan global bahwa ada kelompok masyarakat yang bergantung secara langsung pada terumbu karang, kita harus mencari solusi untuk mereka juga, karena mereka adalah orang yang pertama kali akan menderita sebelum kita bisa melihat dampaknya."
Data-data yang dikumpulkan dalam tiga dekade terakhir menunjukkan bahwa terumbu karang di Singapura berada dalam kondisi stabil dalam hal tutupan karangnya.
Namun, walau tutupan terumbu karang terjaga, tapi komposisinya berubah, Dr Tun menekankan.
"Sebelumnya, ada lebih banyak karang-karang bercabang. Karang yang bercabang akan menarik berbagai jenis keanekaragaman hayati," kata dia.
"Sekarang, karang di Singapura kebanyakan yang serupa piring, datar. Kami kehilangan jenis karang tiga dimensi yang mungkin memiliki dampak fungsional lainnya, yang kami belum tahu apa itu.
"Jadi ada perubahan yang sedang terjadi. Saya rasa komunitas ilmiah sedang mencoba memahami perubahan-perubahan ini dan mencari tahu konsekuensinya agar kita bisa melakukan intervensi."
Terumbu karang sensitif terhadap beberapa unsur, misalnya sedimen, yang keluar dari berbagai aktivitas manusia. Hal ini, kata Dr Tun, bisa memberikan dampak pada terumbu karang.
"Saat ini sudah banyak langkah yang diterapkan di Singapura untuk memastikan aktivitas di perairan tidak mengeluarkan sedimen."
Terumbu karang juga sensitif terhadap suhu permukaan laut. Dr Tun mengatakan, ini adalah masalah yang tengah dicari solusinya oleh para ilmuwan.
Salah satu cara untuk bertahan di situasi ini adalah membangun ketahanan terumbu karang. Menurut para ilmuwan, caranya adalah dengan menciptakan lingkungan yang menantang bagi terumbu karang untuk bertahan hidup dan menempatkan mereka dalam tekanan.
Dr Tun mengatakan, para ilmuwan juga tengah meneliti komunitas mikroba yang terkait dengan karang.
"Ilmuwan ingin mencari tahu apakah komunitas mikroba ini memberikan ketahanan kepada terumbu karang dalam menghadapi temperatur atau dampak lainnya, agar mereka bisa bertahan hidup," kata Dr Tun.
"Jika kita mengetahui strain bakteri apa yang bisa melakukan itu, maka kita bisa mulai menumbuhkan terumbu karang di lingkungan dengan bakteri ini. Lalu ketika kita pindahkan, mungkin terumbu karang akan lebih kuat."
Kisah cinta Dr Tun dengan lingkungan kelautan dimulai ketika dia masih menjadi mahasiswa.
Saat berada di dalam air untuk pertama kalinya selama kursus menyelam, dia merasa telah memasuki sebuah lingkungan yang sama sekali baru dan seperti mimpi.
"Satu-satunya indera yang benar-benar berfungsi adalah penglihatan, karena suara yang bisa didengar adalah gelembung," kata dia.
"Lalu saya panik. Saya berpikir, 'Apakah saya menyelam terlalu cepat? Apa yang akan terjadi?'"
"Kemudian saya melihat terumbu karang yang cantik dengan sekumpulan ikan di depan, lalu saya seakan lupa sedang berada di sebuah lingkungan yang asing. Saya kira itulah yang telah membuka mata saya."
Beberapa tahun kemudian, dia mendengar mengenai terumbu karang yang terdampak dan akhirnya memutuskan untuk bekerja di lingkungan kelautan.
"Saya putuskan bahwa inilah yang ingin saya lakukan," kata Dr Tun, yang rutin menyelam 100 sampai 150 hari per tahunnya.
"Saya ingin bekerja bersama orang-orang yang mencoba mencari solusi untuk memastikan lingkungan yang cantik ini akan tetap ada sampai beberapa generasi ke depan."
Karena perairan dengan terumbu karang adalah tempat penyelaman yang banyak dicari, Dr Tun menyarankan para penyelam untuk menerapkan praktik penyelaman yang bertanggung jawab. Mereka, kata dia, harus terus memperbarui kemampuan menyelam dan tidak menyentuh benda-benda di laut yang tidak mereka ketahui.
"Jangan menyelam di daerah yang masih belum terjamah jika Anda tidak mampu mengendalikan diri di dalam air. Karena jika Anda tidak tahu bagaimana mengayuh kaki dengan baik dan sirip renang Anda bergerak sembarangan, maka itu bisa merusak banyak karang," kata Dr Tun.
Operator penyelaman juga harus memiliki pengetahuan, agar mereka tidak merusak atau memanipulasi lingkungan kelautan hanya karena pelanggan ingin melihat biota laut tertentu, kata dia.
"Ini adalah soal mengedukasi industri penyelaman dan juga penyelam itu sendiri, untuk memastikan bahwa mereka memahami bahwa ada tindakan-tindakan yang bisa merusak lingkungan."
Baca artikel ini dalam bahasa Inggris.