SINGAPURA: Mencapai puncak tertinggi di dunia adalah sebuah tantangan yang membuat para pendaki menyambangi negara-negara seperti Nepal dan Tanzania setiap tahunnya.
Namun, kondisi alam yang ekstrem di pegunungan berisiko tinggi bagi tubuh manusia.
Tekanan barometrik - atau tekanan udara - akan turun seiring bertambahnya ketinggian. Kondisi ini kemudian menyebabkan anjloknya tekanan parsial oksigen, memicu terjadinya hipoksia hipobarik, atau kurangnya oksigen di udara.
Sebagai contoh, udara di ketinggian 3.000m hanya mengandung sekitar 69 persen oksigen jika dibandingkan dengan di permukaan laut. Kadar oksigen akan semakin turun jika permukaannya kian tinggi.
Di puncak Gunung Everest, puncak tertinggi di dunia, hanya terkandung sekitar 33 persen oksigen di udara. "Zona kematian" Everest terletak di ketinggian lebih dari 8.000m, terkenal juga karena medannya yang sulit.
Selain penyakit ketinggian, para pendaki Everest juga rentan menderita kondisi radang dingin dan kerusakan mata.
Beberapa waktu lalu, sebuah agen perjalanan mengatakan seorang pria Singapura meninggal dunia karena komplikasi akibat penyakit ketinggian saat mendaki Gunung Kilimanjaro di Tanzania.
Dia meninggal karena asfiksia, sebuah kondisi yang terjadi ketika tubuh kekurangan oksigen, dan high altitude pulmonary edema (HAPE), sebuah penyakit ketinggian yang bisa berakhir fatal.
Pada Mei lalu, pendaki Singapura lainnya hilang setelah mencapai puncak Gunung Everest. Menurut istrinya, pria itu mengalami high altitude cerebral edema (HACE) dan "tidak berhasil turun".
Penyakit ketinggian terjadi ketika seseorang berada di tempat yang tinggi tanpa memberikan tubuh mereka waktu untuk beradaptasi. Kondisi ini biasanya menimpa mereka yang mendaki hingga ketinggian setidaknya 2.500m di atas permukaan laut, terkadang bisa juga di bawah itu.
Ada tiga jenis penyakit ketinggian: Acute mountain sickness (AMS), HACE dan HAPE.
Di antara ketiganya, acute mountain sickness atau penyakit gunung akut adalah yang paling sering terjadi dan biasanya tidak berbahaya. Namun jika tidak terdeteksi, maka kondisi ini dapat berujung pada dua jenis penyakit ketinggian lainnya yang lebih serius dan berpotensi mengancam nyawa.
HACE terjadi ketika ada penumpukan tekanan di otak, menyebabkan kebocoran cairan dan pembengkakan. Sementara HAPE, memengaruhi paru dengan penumpukan cairan yang menganggu pertukaran oksigen dalam darah.
Tingkat keparahan orang yang kekurangan oksigen tergantung pada ketinggian berapa mereka berada, kecepatan pendakian, dan seberapa lama mereka berada di ketinggian tersebut.
AMS diawali dengan gejala-gejala ringan seperti sakit kepala dan mual.
Gejala lainnya adalah pusing, muntah-muntah, kelelahan dan kehilangan energi, sesak napas, masalah tidur dan hilangnya napsu makan.
Menurut situs perjalanan outdoor SGTrek, gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung 12 hingga 24 jam setelah berada di ketinggian. Gejala akan membaik dalam satu atau dua hari seiring tubuh yang mulai beradaptasi dengan perubahan ketinggian.
Namun jika tidak ditangani, AMS bisa berkembang menjadi HAPE dan HACE.
Gejala HAPE di antaranya rasa sesak di dada, kelelahan ekstrem, sulit bernapas walau sedang beristirahat, batuk dengan dahak berbusa berwarna putih atau merah muda serta demam. Penderita juga bisa mengalami sianosis, kondisi ketika kulit, kuku atau bagian putih bola mata mulai membiru.
Gejala HACE di antaranya sakit kepala, hilangnya koordinasi tubuh, lemah, disorientasi, kehilangan ingatan dan halusinasi. Penyakit ini juga dapat menyebabkan perubahan perilaku normal penderita dan kemampuan mereka untuk berpikir, bahkan berujung koma untuk kasus-kasus yang parah.
Sebuah artikel di situs Harvard Health menyebutkan bahwa gejala HACE kemungkinan tidak terdeteksi dengan segera karena penyakit ini dapat mulai muncul di malam hari.
"Karena penyakit kekurangan oksigen memengaruhi otak dan proses berpikir, orang dengan HACE kemungkinan tidak mengetahui bahwa gejalanya menjadi semakin parah, sampai rekan seperjalanan mereka menyadari adanya perilaku yang tidak biasa," ujar artikel tersebut.
Dr. Peter Yan, ahli kardiologi di rumah sakit Gleneagles, Singapura, mengatakan kasus HACE lebih jarang terjadi, namun HAPE yang tidak tertangani akan semakin cepat mengancam nyawa.
Dia juga mencatat bahwa sekitar 14 persen orang dengan kasus HAPE juga akan menderita HACE.
Penyakit ketinggian bisa menimpa siapa saja, tak peduli tingkat kebugaran, usia dan jenis kelamin mereka.
Namun dalam sebuah penelitian, penyakit ini kemungkinan besar terjadi pada orang-orang yang sebelumnya punya riwayat menderita penyakit ketinggian, mereka yang mendaki terlalu cepat dan yang lama bertempat tinggal di dataran rendah sebelum mendaki gunung.
Orang-orang dengan masalah kesehatan pada jantung, sistem saraf atau paru juga berisiko tinggi. Menurut Harvard Health, obesitas juga ternyata meningkatkan risikonya.
AMS bersifat sementara dan biasanya sembuh dengan sendirinya ketika tubuh mendapat cukup waktu untuk beradaptasi dengan ketinggian.
Ketika mengalami gejala penyakit ketinggian, pendaki harus segera menghentikan pendakian dan turun ke tempat yang lebih rendah. Beristirahat dan meminum obat sakit kepala untuk menghilangkan gejalanya juga bisa membantu.
Kebanyakan orang membaik setelah turun ke ketinggian 500m hingga 1km, seperti yang disampaikan pada situs farmasi milik National Healthcare Group (NHG). Jika diperlukan, penggunaan oksigen tabung juga dapat mengurangi gejala penyakitnya. Namun, tabung oksigen ini bisa digunakan hanya jika muncul gejala atau ketika sedang tidur.
Mereka dengan kondisi yang memburuk ke HAPE atau HACE harus segera mencari pertolongan medis. Jika tersedia ruang hiperbarik (bertekanan) portabel, maka bisa digunakan sementara menunggu pertolongan medis. Perangkat ini membantu memberikan simulasi penurunan ketinggian, sebelum penderita benar-benar turun ke tempat yang lebih rendah.
Obat-obatan seperti acetazolamide dan dexamethasone juga bisa digunakan.
Acetazolamide - atau Diamox - adalah obat untuk menstimulasi pernapasan dan meningkatkan oksigenasi. Obat ini juga mampu mempercepat proses aklimatisasi. Namun obat ini terkait dengan pengobatan sulfonamide, dan sebaiknya dihindari oleh mereka yang memiliki sejarah alergi sulfa yang parah.
Dexamethasone adalah steroid dosis tinggi yang dapat menurunkan atau mencegah gejala AMS, dan juga mengurangi pembengkakan pada kasus HACE.
Menurut dr. Yan, dampak jangka panjang dari penyakit ketinggian tergantung dari tingkat keparahannya.
"Untuk AMS ... biasanya tidak ada dampak jangka panjangnya," kata dia. "Gejala akan hilang setelah turun ke tempat yang lebih rendah dan pulih dalam beberapa hari."
Namun, kondisi serupa bisa jadi tidak dialami oleh para penderita HAPE atau HACE.
Untuk HACE, kata dr. Yan, seseorang terkadang mengalami dampak jangka panjang atau bahkan disfungsi otak, tergantung pada tingkat keparahan dan reaksi dari pengobatan awal.
Dr. Yan melanjutkan, jika ditangani lebih cepat, gejala HAPE bisa sembuh, walau dia mencatat ada beberapa kasus serius yang butuh waktu berminggu-minggu sampai pulih.
"HAPE adalah edema paru non-kardiogenik dan oleh karena itu dapat sembuh dengan baik jika ditangani dengan tepat, seperti deteksi dan diagnosis dini, segera turun ke tempat yang lebih rendah, pemberian oksigen, dan jika diperlukan, diuretik," kata dia.
Gejala jangka panjang lainnya termasuk kelelahan, sesak napas, nyeri dan rasa sakit pada tubuh.
Jika tidak ditangani, baik HACE dan HAPE bisa berujung pada kematian.
Aklimatisasi ketinggian, atau penyesuaian tubuh terhadap menurunnya kadar oksigen di tempat tinggi, sangat penting untuk mencegah penyakit ketinggian.
Seseorang harus mendaki perlahan agar tubuh terbiasa dengan perubahan ketinggian dan hindarilah secara langsung mencapai ketinggian lebih dari 3.000m.
Mereka yang tinggal di daerah dengan ketinggian kurang dari 1.500m di atas permukaan laut sebaiknya tidak mencapai ketinggian terlalu cepat, ujar NHG.
"Untuk pendaki dataran tinggi, cara aklimatisasi yang umum dilakukan adalah tinggal selama beberapa hari di pos pendakian, mendaki lagi secara perlahan, dan kembali bermalam di pos," kata dr. Yan.
"Pendakian berikutnya ke pos yang lebih tinggi, lalu tinggal di situ satu malam. Proses ini kemudian diulangi beberapa kali, setiap kali berada di ketinggian waktunya ditambah agar tubuh terbiasa dengan kadar oksigen di tempat tersebut. Dalam proses ini tubuh juga akan memproduksi tambahan sel darah merah."
SGTrek merekomendasikan untuk membiasakan diri dengan ketinggian dua sampai tiga hari sebelum naik ke atas 3.000m.
NHG menambahkan, bagi mereka yang berencana mendaki ke ketinggian lebih dari 3.000m di atas permukaan laut, atur pendakian agar tetap di bawah 500m per hari, dan untuk setiap 1km rencanakanlah satu hari untuk beristirahat. Dianjurkan juga untuk "mendaki ke tempat tinggi, tapi tidur di tempat rendah" - artinya, pendakian dilakukan di siang hari dan turun ke tempat lebih rendah untuk tidur di malam hari.
"Aturan umum yang bisa dijadikan patokan adalah tidak mendaki lebih 300m per hari untuk tidur," kata dr. Yan.
"Proses ini tidak bisa diburu-buru, dan inilah sebabnya mengapa pendaki menghabiskan berhari-hari (bahkan berminggu-minggu) untuk aklimatisasi sebelum mencoba menaklukkan puncak."
Pendaki juga harus memastikan meminum air yang cukup, menghindari alkohol dan obat tidur, terutama pada dua hari pertama, kata NHG. Makanan yang mengandung lebih banyak tepung direkomendasikan dikonsumsi di ketinggian.
NHG menambahkan, seseorang yang rutin minum kopi tidak perlu berhenti mengonsumsinya sebelum atau selama pendakian. Pasalnya, tiba-tiba berhenti minum kopi dapat menyebabkan gejala yang mirip dengan penyakit ketinggian. Kafein, tulis NHG, aman diminum di ketinggian.
Sementara itu, mereka yang berencana untuk bermain ski, tidak boleh terlalu memaksakan tubuh mereka selama beberapa hari pertama di ketinggian.
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai benda-benda asing yang tertelan oleh anak, apakah bisa keluar dengan sendirinya?
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.