Bahkan setelah pemerintah mengumumkan pandemi COVID-19 telah berakhir dan semua pembatasan dicabut, tingkat okupansi mal di Jakarta belum kembali seperti masa sebelum pandemi.
JAKARTA: Hampir tidak ada pelanggan yang berkeliaran di tengah keremangan lorong-lorong di mal Jakarta yang sepi ini.
Barisan toko-toko yang kosong dan tutup jadi bukti nyata akan dampak dari pandemi; anjloknya perekonomian secara masif dan hancurnya bisnis para pemilik usaha di mal.
Tapi di tengah sunyi dan muramnya suasana, ada tanda-tanda aktivitas. Suara-suara ceria terdengar dari para penjaga toko yang dipersenjatai ponsel pintar dan lampu bulat, menyapa para pelanggan virtual dari seantero Indonesia.
Dengan sangat antusias mereka menawarkan barang-barang dagangan di hadapan para penonton siaran langsung pada e-commerce dan platform media sosial seperti TikTok, Shopee dan Instagram.
"Ini cara yang bagus untuk memperkenalkan produk kami, kualitasnya dan kerajinan tangannya kepada khalayak luas," ujar seorang pelayan toko, Hariyanti, kepada CNA.
Hariyanti mengatakan tokonya bisa menjual rata-rata 100 pasang sepatu per hari secara online. "Kalau offline, sebagus-bagusnya kami cuma jual 20 atau 30 pasang sehari," kata dia.
Bagi sebagian pedagang, menjual produk secara online awalnya cuma taktik bertahan hidup menyikapi pandemi, yang membuat mobilitas dan aktivitas sosial sangat dibatasi.
Tapi sejumlah toko malah menyadari adanya keuntungan lebih dengan berjualan di e-commerce, yakni pasar yang lebih luas dan pemasukan yang lebih besar. Akhirnya mereka tetap melanjutkan cara ini, bahkan ketika pembatasan kegiatan masyarakat telah dicabut.
"Tidak heran kalau kita melihat toko-toko saat ini melayani campuran antara pelanggan virtual dan fisik, sementara toko yang lain memutuskan sepenuhnya fokus jualan online," kata Bhima Yudhistira Adhinegara, direktur eksekutif lembaga think-tank Center of Economic and Law Studies (CELIOS).
Tapi fenomena ini harus dibayar mahal oleh sebagian pihak.
Pandemi terbukti telah menjadi pukulan pemungkas yang mematikan bagi toserba-toserba besar dan waralaba pasar swalayan di Indonesia, yang sebelumnya sudah babak belur dihajar oleh kehadiran platform belanja online.
Waralaba pasar swalayan Giant menutup seluruh 395 gerai mereka pada 2021. Di tahun yang sama, toserba Centro mengajukan pailit dan menutup seluruh 12 gerainya.
Sementara itu, beberapa mal di Jakarta - yang sebagiannya bahkan berada di lokasi strategis - sudah di ambang kebangkrutan dengan hanya segelintir penyewa yang bertahan.
Di tengah perubahan lanskap bisnis ritel, semakin banyak mal di Jakarta yang kini hanya menjadi gudang penyimpanan tempat para penyewa mengirimkan barang-barang mereka. Seringnya yang datang bukan pelanggan, tapi kurir.
"Tidak ada lagi orang yang mau belanja di mal ketika kita bisa membeli barang dengan nyaman dari rumah," kata Bhima.
Widya Kusuma biasanya menjual kerudung dari sebuah kios kecil dalam mal yang terletak di pinggiran selatan Jakarta, tapi pandemi memaksanya berjualan secara online dari rumah.
"Situasinya sulit. Saya terpaksa mem-PHK pegawai. Saya sempat berpikir untuk menyerah," kata dia kepada CNA, seraya menambahkan bahwa betapapun keras upayanya, saat itu dia hanya mampu menjual sedikit sekali barang jika dibandingkan sebelum pandemi.
Nasib Widya berubah setelah munculnya "social commerce" - fitur media sosial yang memfasilitasi jual beli barang dan jasa - pada April 2021 saat TikTok memilih Indonesia sebagai tempat uji coba fitur komersial mereka: TikTok Shop.
Fitur ini memungkinkan penggunanya membeli barang-barang sembari melihat-lihat deretan konten video pendek dan tayangan langsung yang seakan tak ada habisnya di TikTok.
"Dalam waktu singkat, saya menjual kerudung lebih banyak daripada sebelum pandemi," kata Widya yang akhirnya memutuskan untuk fokus berjualan online. Dia juga tidak memperpanjang sewa kios di mal yang telah berakhir pada 2022.
Tahun lalu, volume transaksi di TikTok mencapai US$4,4 miliar (Rp66,8 triliun) di seluruh Asia Tenggara, naik dari US$600 juta (Rp9 triliun) pada 2021, berdasarkan data perusahaan konsultan Momentum Works.
Bulan lalu TikTok memaparkan ada lima juta pedagang Indonesia yang menggunakan platform mereka, kebanyakan adalah pemilik usaha kecil dan menengah (UKM). Perusahaan ini juga mengatakan akan berinvestasi miliaran dolar di Asia Tenggara dalam beberapa tahun ke depan, dengan harapan meningkatkan transaksi hingga tiga kali lipat menjadi US$12 miliar (Rp182 triliun) pada akhir 2023.
Transaksi dari TikTok Shop belum ada apa-apanya jika dibandingkan pemain lainnya yang lebih mapan seperti Shopee dan Lazada, yang melayani transaksi masing-masing US$47,9 miliar (Rp727 triliun) dan US$20,1 miliar (Rp305 triliun) pada 2022.
Namun menurut Momentum Works, angka transaksi di atas menunjukkan pertumbuhan Shopee stagnan dan Lazada terus menurun setelah dicabutnya pembatasan dan masyarakat tidak khawatir lagi belanja keluar rumah. Sebelumnya pada 2021, transaksi di Shopee mencapai US$42,5 miliar (Rp645 triliun) dan Lazada US$21 miliar (Rp319 triliun).
Menanggapi semakin populernya TikTok Shop, perusahaan-perusahaan e-commerce besar mulai bereksperimen membuat fitur video pendek dan siaran langsung di platform mereka.
Penjaga toko Hariyanti mengatakan, dia dan rekan kerjanya siaran langsung selama dua jam per hari antara pukul 12 sampai 2 siang. Mereka memajang satu per satu barang menggunakan tiga ponsel pintar untuk menjaring pelanggan dari tiga platform berbeda: TikTok Shop, Shopee dan Instagram.
Sejauh ini, kata dia, penjualan terbanyak berasal dari TikTok Shop dibandingkan dua platform lainnya.
"Mungkin (TikTok Shop) lebih cocok dengan target pembeli kami. Mungkin juga (TikTok Shop) punya lebih banyak promo seperti diskon dan pengiriman gratis. Saya tidak tahu persisnya kenapa," kata dia.
Miranti Amelia, pemilik toko pakaian di sebuah mal di Jakarta Barat, mengatakan walau toko fisiknya masih didatangi pelanggan, tapi jumlah mereka terus menurun.
"Biasanya mereka melihat toko kami di media sosial tapi tetap ingin datang ke toko untuk mencobanya sendiri. Mereka beli satu atau dua baju, kalau sudah yakin dengan produk kami, lalu mereka beli lewat online," kata dia kepada CNA.
"Bahkan ada satu pelanggan yang datang ke toko, mencoba produknya lalu beli barang yang sama di toko online kami ketika masih berada di toko fisik kami. Saya tanya ke dia, dia bilang: 'Ada banyak promo di online'."
Miranti mengatakan dengan menurunnya penjualan offline, kini toko fisiknya lebih seperti jendela etalase bagi toko onlinenya dan jadi pemandangan latar belakang untuk siaran langsung hariannya.
"Saya berencana memindahkan semuanya ke ruko dua lantai. Sulit menjalankan toko online dari dalam mal. Tidak ada cukup ruang bagi pekerja saya untuk mengemas barang-barang pesanan. Kurir juga harus naik-turun tangga dan elevator," kata dia.
Tapi tidak semua pemilik usaha memilih hengkang dari mal.
Pemilik toko Josh Sulistyo mengatakan, walau penjualan toko online-nya mulai mengejar nilai transaksi di toko fisik, dia akan tetap beroperasi dari komplek pertokoan Tanah Abang, yang terkenal jadi magnet pedagang grosir dari seluruh Indonesia.
"Kami butuh toko ini untuk menunjukkan (kepada pembeli) bahwa bisnis kami serius, agar mereka lebih yakin kalau kami punya stok barang yang cukup dan bisa memenuhi berapapun pesanan mereka," kata dia.
Tapi Josh adalah sebuah pengecualian.
Perusahaan real estate Colliers pada laporannya April lalu mengatakan, walau pemerintah telah mengumumkan pandemi COVID-19 berakhir dan mencabut semua pembatasan, namun tingkat okupansi di pusat perbelanjaan Jakarta belum kembali seperti sebelum pandemi.
Pada tiga bulan pertama 2023, pusat perbelanjaan di Jakarta memiliki rata-rata tingkat okupansi 69 persen, dibandingkan 79,8 persen pada kuartal terakhir 2019 sebelum pandemi menghantam.
Mal yang menjual barang-barang mewah dan premium kondisinya lebih baik, catat Colliers dalam laporannya. Pada kuartal pertama 2023, tingkat okupansinya 84,5 persen.
Namun kondisi serupa tidak terjadi pada mal dengan target pasar menengah ke bawah. Pada periode yang sama, mal-mal ini rata-rata memiliki tingkat okupansi hanya 47 persen.
Bhima dari lembaga think-tank CELIOS mengatakan masa depan terlihat suram bagi mal dengan target keluarga menengah ke bawah. Pasalnya, kebanyakan barang di mal ini juga tersedia secara online.
"Banyak penyewa yang luar biasa terdampak pandemi. Beberapa dari mereka tutup, beberapa memangkas pengeluaran besar-besaran dan mencari alternatif yang lebih murah, beberapa lainnya memutuskan bahwa tidak ada gunanya lagi menjalankan toko fisik juga," kata dia.
"Di bagian lain Indonesia, di mana penetrasi internet masih rendah dan ongkos kirim mahal, jenis mal seperti ini mungkin masih diminati, tapi tidak di Jakarta."
Untuk mendorong belanja masyarakat, Presiden Joko Widodo mengumumkan dua hari sebelum dan sesudah Idul Adha - yang jatuh pada 29 Juni - sebagai cuti bersama, menjadikan total akhir pekan sebanyak lima hari.
"Itu kan terutama harinya (cuti bersama) memang memerlukan waktu yang lebih untuk mendorong ekonomi, utamanya di daerah agar lebih baik lagi," kata Jokowi.
Keputusan presiden tersebut memang berdampak pada beberapa mal di Jakarta yang dilaporkan mengalami peningkatan aktivitas selama lima hari liburan. Namun, dampak kebijakan itu berumur pendek dan kondisi kembali seperti semula pada 3 Juli, berdasarkan pengakuan pemilik toko yang diwawancara CNA.
Alphonzus Widjaja, ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyadari bahwa beberapa mal tengah berjuang untuk menarik pelanggan dan penyewa.
"Mal seharusnya tidak lagi sekadar tempat berbelanja, karena jika begitu mereka akan berkompetisi langsung dengan e-commerce," kata dia kepada CNA.
"Seharusnya, mal menjadi tempat terbentuknya interaksi sosial. Mal perlu menjadi pusat aktivitas. Inilah yang dirindukan masyarakat setelah mereka keluar dari pandemi dan ini adalah hal yang tidak bisa ditawarkan oleh platform e-commerce."
Alphonzus mencontohkan kesuksesan mal pertama di Indonesia, Sarinah, dalam melakukan transformasi dari pusat belanja yang kuno dan sepi menjadi tempat yang modern dan trendi bagi orang untuk makan, belanja dan bercengkerama.
Pusat perbelanjaan plat merah berusia 56 tahun ini telah melalui perombakan besar-besaran dan perubahan konsep pada 2020. Proyek renovasi selama dua tahun itu memakan anggaran pemerintah hingga Rp700 miliar.
"Asosiasi kami telah berkomunikasi dengan mal-mal yang sedang kesulitan, bahwa mereka harus mengubah diri. Mereka semua setuju mengubah konsep, tapi itu butuh uang yang belum tentu mereka miliki," kata dia.
"Tapi itu bukan hal yang mustahil dilakukan oleh mal yang sedang menderita demi bisa bangkit lagi."
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai sungai-sungai di Asia Tenggara yang jadi salah satu sumber masalah sampah plastik dunia.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.