Walau memiliki racun mematikan dan hanya boleh diolah oleh koki terlatih, namun ikan buntal punya tempat khusus dalam budaya Jepang dan suku Orang Laut Singapura.
SINGAPURA: Nyawa James Bond hampir tamat karena ikan buntal pada novel "From Russia With Love" yang diterbitkan pada 1957. Kapten James Cook juga pernah jatuh sakit setelah memakan telur dan hati ikan buntal. Diceritakan di buku The Year Of Eating Dangerously karya Tom Parker Bowles, James Cook merasakan sensasi tertusuk yang hanya bisa hilang dengan "muntah atau berkeringat". Aktor kabuki Jepang legendaris Bando Mitsugoro VII wafat setelah menyantap empat porsi ikan buntal pada 1975.
Insiden terbaru terjadi April lalu di Malaysia, pasangan lansia meninggal setelah mengonsumsi ikan buntal. Kasus ini membuat pemerintah mengeluarkan peringatan agar masyarakat mewaspadai risiko konsumsi ikan buntal dan tata cara penjualannya.
Ikan buntal terkenal dengan reputasinya yang mengerikan dan terkadang mematikan. Reputasi ini muncul karena racun saraf bernama tetrodotoksin (TTX) yang berasal dari udang-udang kecil yang dimakan ikan buntal. TTX diperkirakan 1.200 kali lebih beracun dari sianida. Dua miligram TTX saja dapat mengganggu sistem saraf, menyebabkan mual, kelumpuhan, hingga serangan jantung.
Jadi tidak mengherankan jika penjualan ikan buntal diatur dengan ketat atau bahkan dilarang di beberapa negara.
Di Singapura, contohnya, restoran hanya boleh membeli ikan buntal dari peternakan (yang berarti ikan tidak memakan udang pembawa TTX yang mematikan) dan hanya dijual melalui saluran yang tepat.
Badan Pengawas Makanan Singapura (SFA) mengatur dengan ketat impor ikan buntal. Impor hanya diperbolehkan untuk bagian otot, sirip, kulit dan sperma yang bebas TTX dari ikan buntal hasil budidaya dan otot ikan buntal liar yang telah diolah dengan tepat. Sebagai tambahan, semua ikan buntal impor hanya boleh dikemas oleh perusahaan terakreditasi SFA yang telah tersertifikasi dan mendapat izin dari pemerintah Jepang.
Wajib dimiliki juga sertifikat kesehatan dari pemerintah Jepang, berisikan informasi detail tentang dari mana ikan buntal berasal dan bagaimana cara pengolahannya.
SFA juga memperingatkan masyarakat untuk tidak mengonsumsi ikan buntal yang ditangkap di alam liar dan diolah oleh koki amatir.
Terlepas dari aturan ketat soal konsumsi ikan buntal, atau malah justru karena itu, makanan ini masih menjadi daya tarik kuliner bagi banyak orang. Bagi sebagian orang lainnya, mengonsumsi ikan buntal adalah bagian dari sejarah dan kebudayaan mereka.
Tidak ada negara yang paling identik dengan ikan buntal selain Jepang, yang merupakan konsumen terbesar di dunia untuk fugu - sebutan untuk ikan ini di Jepang.
Selama lebih dari 2.000 tahun, memakan fugu menjadi aksi menantang maut yang dipercayakan penyajiannya oleh para koki yang dilatih khusus. Koki-koki ini harus menjalani pelatihan khusus selama dua tahun, sebelum kemampuan mereka diuji dalam mengenali beragam spesies fugu yang berbeda dan harus secara akurat menentukan tingkat TTX di masing-masing ikan tersebut. Mereka hanya boleh menyajikan menu fugu jika berhasil menunjukkan kecakapan dalam membedah ikan tersebut.
"Fugu termasuk menu mewah dalam tradisi makan Jepang. Memakan ikan buntal, yang sangat mahal bagi orang Jepang, memberikan sensasi kebahagiaan. Secara pribadi, saya juga menikmati fugu karena ternyata sangat enak," kata Kenta Yamauchi, koki pemilik Hazuki, restoran Jepang mewah di Singapura yang mendatangkan ikan buntal dari peternakan di prefektur Yamaguchi, Oita, dan Fukuoka.
Menurut Kenta, musim panen fugu ada di bulan November hingga Februari, karena di awal tahun telur ikannya (shirako) menjadi lebih berlemak dan lezat.
Restoran Jepang mewah seperti Hazuki biasanya menyajikan sashimi fugu dalam bentuk irisan yang sangat tipis (dipotong dengan teknik usuzukuri) lalu ditebarkan di atas piring sehingga menyerupai bunga krisan, sebuah keterampilan mengiris tingkat tinggi dari seorang koki. Cara lainnya untuk menyajikan fugu adalah dengan hot pot, karena tulang ikan akan memberikan rasa lezat pada kaldunya.
Meski memiliki sejarah panjang konsumsi ikan buntal dan dipersiapkan dengan aman oleh koki terlatih, namun Jepang tidak kebal dari bahayanya. Pada 1948, berbagai prefektur di Jepang mulai mewajibkan izin bagi mereka yang ingin menyajikan menu fugu, sehingga berhasil menurunkan angka keracunan fugu setiap tahunnya. Pelarangan konsumsi kimo fugu (hati ikan buntal) pada 1983 juga berhasil menurunkan angka insiden keracunan.
Seseorang akan otomatis mengidentikkan ikan buntal dengan Jepang. Padahal, Jepang bukan satu-satunya tempat di mana ikan ini dianggap sebagai makanan yang lezat.
Di Singapura, ikan buntal dikonsumsi oleh orang Melayu dan suku Orang Laut, sebuah masyarakat yang seperti Jepang, bergantung kepada laut sebagai sumber penghidupan di masa lampau.
"Orang Singapura selalu memiliki pemahaman tersendiri soal bagaimana mengolah hasil laut," jelas Khir Johari, penulis "The Food Of Singapore Malays", buku yang mengisahkan sejarah, geografi dan keyakinan budaya yang membentuk gastronomi Melayu.
"Sangat menarik mengetahui bahwa nenek moyang kita, entah bagaimana caranya, bisa tahu teknik membersihkan ikan buntal. Banyak warga di desa, bukan hanya orang-orang tua, tapi juga ibu rumah tangga, telah dilatih oleh ibu mereka cara mengolahnya."
Menurut Khir, ikan buntal biasanya dibersihkan di atas perahu nelayan yang menangkapnya. "Mereka akan menyisihkan jeroannya... yang terpenting, telur dan hati. Jika jeroan itu ada yang pecah saat pembersihan, mereka akan membuang ikannya ke laut. Bagian dekat sirip dalam harus dibuang. Jika bagian ini tidak bisa ditemukan, maka tidak bisa dibawa pulang karena racunnya telah menyebar ke seluruh ikan (sehingga tidak aman dimakan)."
Firdaus Sani, generasi keempat suku Orang Laut dari Pulau Semakau dan pencetus situs Orang Laut SG, mengatakan para tetua di sukunya butuh enam hingga delapan jam untuk membersihkan ikan buntal. Setelah itu, "direbus dua kali dengan jeroan ikan diikat kecil-kecil agar tidak pecah."
Mempersiapkan menu ikan buntal adalah "sebuah kerja gotong royong. Ikan berukuran sedang (dengan berat antara 5kg sampai 6kg) bisa memberi makan sekitar 25 orang."
Seperti halnya makanan tradisional lainnya, misalnya kluwek dan durian, mengonsumsi ikan buntal bagi masyarakat pesisir Singapura di masa lalu juga memiliki pantangan dan larangan.
"Misalnya, Anda tidak boleh minum kopi saat makan ikan buntal," kata Firdaus. "Itu akan membuatmu mabuk (perasaan melayang, seperti pusing). Pantangan lainnya adalah memakannya dengan buah yang memiliki getah, seperti manggis... kepercayaannya, manggis memiliki zat yang tidak cocok dengan ikan buntal."
Tidak ada yang tahu apakah pantangan ini benar atau tidak, lagi pula masyarakatnya pun tidak menentang kepercayaan yang telah lama diyakini itu.
"Kepercayaan-kepercayaan masyarakat ini penting dan kami tidak menentangnya karena itu adalah kearifan dari orang lama, yaitu mereka yang pernah mencoba dan mengujinya," kata Firdaus.
Sementara itu, Khir mengatakan ada kepercayaan lain yang dibagikan di antara tetua orang Melayu: "Jika saat merebus ikan buntal airnya keruh dan menghitam, berarti racunnya telah masuk ke dalam daging. Jadi tidak boleh dimakan," kata dia.
Walau orang Melayu dan suku Orang Laut memiliki makanan tradisional yang sama bernama kerabu buntal (salad ikan buntal), namun versi keduanya berbeda.
Kerabu buntal versi suku Orang Laut menyertakan hati ikan buntal yang kemungkinan beracun. "Hati menjadi bahan dasar yang kaya rasa, ditambahkan dengan cabai, serai dan kangkung," jelas Firdaus. Bahan itu kemudian ditumbuk dan dimasak dengan daging ikan buntal hingga menjadi sambal yang kental.
"Meski tekstur dagingnya bagus - agak mirip ikan gigi patagonia - tapi perlu dibubuhkan bumbu seperti cabai merah, jahe, bawang putih, dan banyak lada hitam serta serai untuk menghilangkan lemak ikannya," kata Khir. "Kami memasaknya sampai campuran itu cukup kering, itulah mengapa namanya kerabu buntal."
Peraturan ketat terkait konsumsi ikan buntal, baik di Jepang dan Singapura, membuat seni penyajian ikan buntal semakin sedikit yang menguasainya.
Menurut Firdaus, jumlah orang yang terampil mengolah ikan buntal di suku Orang Laut semakin menurun sejak penangkapan ikan membutuhkan "waktu yang sangat berharga" di Singapura modern. Dan bahkan di Jepang, Yamauchi mengatakan meningkatnya jumlah peternakan fugu dan semakin banyaknya pedagang ikan yang mahir mengolah ikan buntal berujung pada menurunnya jumlah koki fugu yang berkualifikasi.
Kendati demikian, kekaguman terhadap ikan buntal masih tetap ada sampai sekarang - entah disajikan sebagai makanan musiman pada musim dingin di restoran Jepang atau sebagai bagian dari hidangan yusheng pada Tahun Baru China. Dan bagi siapa pun yang ingin coba-coba mencicipinya, ingatlah pepatah yang mengatakan "jika ragu, maka tinggalkanlah".
Baca artikel ini dalam Bahasa Inggris.
Baca juga artikel Bahasa Indonesia ini mengenai observatorium tertua di Indonesia yang kehilangan pesonanya karena polusi cahaya.
Ikuti CNA di Facebook dan Twitter untuk lebih banyak artikel.