SUKABUMI, Jawa Barat: Dengan tongkat yang menuntun langkahnya, sembari membopong tas berisikan pisang matang, Tini Kasmawati harus bersusah payah melintasi jalan setapak yang licin dan berlumpur di hutan yang mulai menggundul dekat desanya. Hujan gerimis, udara pagi yang dingin, dan yang paling merepotkan: penglihatan yang kian memburuk, sama sekali tidak menyurutkan langkahnya.
Tidak jarang, perempuan dengan gangguan penglihatan ini tergelincir di medan yang berbukit-bukit itu. Tapi Tini maju terus, tidak sabar bertemu makhluk yang menjadikan hutan ini rumah mereka: owa Jawa, spesies terancam punah di Jawa, pulau terpadat di Indonesia.
Dalam sembilan tahun terakhir, Tini, penjual makanan berusia 51 tahun dari desa Lengkong, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, telah memberikan makanan kepada satu keluarga owa Jawa yang tinggal di bukit yang dulunya dinaungi pepohohan yang lebat.
Bukit itu kini perlahan beralih menjadi perkebunan karet atau permukiman warga.
"Owa Jawa hanya makan (buah) yang matang. Tetapi sebelum matang, sudah diambil sama pemilik (petani). Kalau nggak diambil sama pemilik, dicuri orang lain," kata Tini kepada CNA.
Dengan nyaris tidak ada yang bisa dimakan kecuali dedaunan dan serangga, konflik antara owa Jawa dan warga kerap terjadi di desa Lengkong, semakin mengancam keberlangsungan hidup spesies yang hanya berjumlah sekitar 2.000 ekor di alam liar ini.
Owa Jawa adalah makhluk teritorial dan jarang keluar dari wilayahnya, kecuali demi mencari pasangan untuk dikawini dan tinggal bersama seumur hidupnya.
Upaya Tini dalam memberikan makan kepada para owa Jawa - dengan dimasukkan ke dalam ember lalu diletakkan di atap bambu - tidak hanya mencegah terjadinya konflik, tetapi juga meningkatkan keberlangsungan hidup hewan tersebut.
"Owa Jawa punya insting yang sangat bagus. Jika mereka merasa kemarau panjang akan datang dan makanan jadi langka, mereka akan menunda punya anak," kata Tini.