PERS mahasiswa (persma) juga menjalankan fungsi pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum (public watch dog).

MENYAJIKAN makanan Indonesia dalam sebuah fine dining, kenapa tidak?
Selama ini, fine dining yang merupakan salah satu gaya dalam memasak dan menyajikan makanan masih sering menyuguhkan makanan western. Untuk menyajikan masakan Indonesia dengan urutan appetizer, sup, makanan utama, hingga hidangan penutup, bukan perkara mudah.
"Yang pasti menantang. Biasanya masakan Indonesia dimasak dan disajikan secara tradisional. Sementara di fine dining harus disajikan dengan cantik," ujar Nadya Safira, Mahasiswa Program Studi Manajemen Tata Boga Sekolah Tinggi Pariwisata National Hotel Institute Bandung, di Enhai Hotel, Senin, 5 Januari 2018 lalu.
Fine dining yang berkiblat ke Prancis, jauh berbeda dengan gaya makan orang Indonesia yang tergolong tradisional. Indonesia lekat dengan penyajian semua makanan secara bersama tanpa mengenal hidangan pembuka, inti, maupun penutup. Semuanya bisa dilahap tanpa urutan.
Sementara itu, fine dining selain punya urutan dari hidangan pembuka hingga penutup, juga harus bisa membangkitkan pengalaman berbeda antara lain dengan suguhan dekorasi ruangan, musik, sampai bebauan yang selaras dengan makanan. Improvisasi makanan pun menjadi tuntutan sehingga menghasilkan makanan yang tidak seperti kebanyakan.
Pemesan fine dining biasanya kalangan tertentu yang sudah jauh-jauh hari mengorder. Mereka biasanya penikmat kuliner kalangan atas baik turis, blogger kuliner, atau traveler. Kenikmatan fine dining adalah kepada sensasinya. Fine dining biasanya hanya menyajikan makanan untuk jumlah terbatas yakni 5 piring, 13 piring, atau 22 piring.
Harga makanan untuk setiap orangnya bervariasi. Sebagai gambaran, kisarannya mencapai Rp 1,3 juta/orang. Jika ditambah dengan minuman, harga total setiap orang bisa mencapai dua kali lipatnya.
Tak heran, cara memasak dan menyajikan setiap detail makanannya menuntut teknik yang benar-benar ciamik sehingga konsumen puas dengan harga yang dibayar. Nadya mencontohkan untuk membuat makanan yang terbilang sepele seperti botok tahu, dia harus mendayagunakan kemampuannya hasil membaca literatur dan mengamati plating ahli kuliner luar negeri.
Untuk menghasilkan botok yang tidak sekadar berupa tahu halus berbungkus daun pisang, Nadya mengubah ini itu. Tahu yang telah dihancurkan tetap dia kukus seperti teknik asli memasak botok. Namun, dia membentuk adonan tahu menjadi kotak.
Nadya kemudian melengkapinya dengan telur pindang, tempe goreng, potato nests, dan coconut sauce. Sementara itu, daun pisang yang membawa aroma khas, tak dia jadikan sebagai pembungkus tetapi sebagai pelengkap.
”Pernah juga bikin putu pisang khas Cirebon. Itu pisang, kelapa, dan kinca harus ada. Jadi saya bikin pisang dalam bentuk mousse (dihancurkan), dikasih krim, kelapa dibuat krispi, diberi kinca, ditambah mangga gedong gincu dibikin sorbet seperti es serut,” ujar dia.
Rekan sekelas Nadya, Alfinisyah, mengakui sulitnya tantangan fine dining Indonesian food. Menurut dia, secara teknik memasak makanan Indonesia sangatlah berbeda dengan teknik memasak makanan Perancis yang menjadi kiblat dan acuan fine dining.
“Jadi ada tantangan tersendiri. Bagaimana kita mengeksplorasi bahannya lalu seperti apa teknik-teknik yang bisa diubah ke teknik modern,” kata dia.
Begitu menantangnya menyajikan makanan Indonesia untuk fine dining, sampai-sampai ada juga mahasiswa yang angkat tangan. Salman Fariz misalnya. Dia memilih mendalami western food karena dinilai punya banyak cara memasak.
”Masakan Eropa misalnya setiap bahannya mengeluarkan cita rasa. Daging cukup dikasih garam sama lada, itu keluarnya rasa daging itu sendiri. Tidak terlalu repot,” ujarnya.
Masih jarang
Di Indonesia, saat ini masih jarang restoran yang menyajikan fine dining Indonesian food. Sejauh ini, baru dua alumnus STP NHI Bandung yang berani mengkhususkan restorannya untuk fine dining Indonesian food yakni Blanco Par Mandif Restaurant di Bali dan Resto Nusa di Jakarta.
Dosen STP NHI Bandung, Nur Komariah mengatakan di Indonesia memang belum ada yang mulai menggali fine dining Indonesian food. Namun, kampusnya telah memulai 7 tahun terakhir ini meski bukan termasuk yang diajarkan di kelas. ”Mahasiswa berkreasi sendiri dari hasil job training mereka. Kita bebaskan,” katanya.
Masih jarangnya fine dining makanan Indonesia barangkali karena sedikitnya permintaan pasar. Pasar lokal pun belum banyak yang tertarik. Selain itu, makanan Indonesia rata-rata adalah makanan dengan olahan tradisional yang belum dikemas secara cantik.
Padahal, fine dining Indonesian food ternyata diapresiasi pelancong asing. Mahasiswa Manajemen Tata Boga lainnya, Jonatan Karo Karo mengatakan, berdasarkan pengalamannya job training di Blanco Par Mandif Restaurant Bali, orang asing begitu terbuka mencoba makanan Indonesia dalam fine dining mereka. ”Memang ada yang takut spicy, nggak suka garlic atau bawang merah, tetapi itu bisa diatur,” katanya.
Tak hanya itu, makanan Indonesia ternyata juga sudah dijadikan sebagai salah satu menu pada fine dining warga asing. Pada satu akun Instagram, makanan Indonesia bahkan telah disajikan di fine dining yang diunggah oleh akun chefstalk, yang ternyata warga Belanda. ”Aku amati kok ada tempenya. Ternyata pas aku buka itu gado-gado,” kata Nadya Safira. ***