BANDUNG,(PR).- Deklarasi bakal pasangan calon Sudrajat-Ahmad Syaikhu rupanya batal dihadiri oleh Katua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan.

BANDUNG, (PR).- Ketidakhadiran sosok bakal calon pemimpin perempuan dalam Pilgub Jabar 2018 disayangkan banyak pihak. Hal yang mustahil, sebagai provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia ini, Jabar tak punya sosok pemimpin perempuan.
Hal itu mengemuka dalam diskusi ”Perempuan dalam Pilgub Jabar” yang diselenggarakan Pusat Kajian & Pengembangan Kependudukan, Peranan Wanita dan Perlindungan Anak LPPM Universitas Pendidikan Indonesia di Aula Pikiran Rakyat, Jalan Asia Afrika, Rabu 31 Januari 2018. Diskusi membahas hasil survei Elly Malihah tentang perempuan dalam bursa calon Gubernur Jabar.
Acara dihadiri Ketua P2TP2A Jabar Netty Prasetiyani Heryawan, dan Selly Andriany Gantina (Wabup Cirebon) sebagai narasumber utama, Pemimpin Umum Pikiran Rakyat Syafik Umar, Sekretaris LPPM UPI Yadi Ruyadi, Wakil Rektor Akademik dan Kemahasiswaan UPI M Solehudin, serta lainnya. Diskusi dipandu Wapemred Pikiran Rakyat Erwin Kustiman.
”Perempuan di Jabar berpotensi jadi pemimpin. Tapi ada kendala sehingga perempuan sulit melangkah ketimbang pria, dalam ruang publik. Seperti ada larangan sosial budaya, anggapan dilarang agama, keraguan atas kemampuan perempuan, keberpihakan partai terhadap laki-laki, kurang sosialisasi tentang kepemimpinan perempuan, larangan dari keluarga, bahkan tak didukung oleh kaum perempuan sendiri,” ujar Elly.
Netty Heryawan menuturkan, jika melihat pelaksanaan pilkada sejak 2015 dan 2017, keterlibatan perempuan semakin menurun.
”Saya kira, tak ada perempuan yang tak berani maju jadi pemimpin. Secara normatif, perempuan berpeluang besar maju karena ada aturannya. Hal yang menarik, modal sosial perempuan agar punya suara politik. Ini harus didorong karena tak semua berani menjual visi, program. Kalau bicara aspek sosiokultural, perempuan terlatih soal dapur, kasur, sumur. Itu membuat tak semua perempuan berani tampil,” ucapnya.
Maka, kata Netty Heryawan, harus dibantu didukung, mulai dari skala keluarga, seperti suami. Laki-laki harus penuh kerelaan mengakui perempuan dibutuhkan publik. ”Ini harus dikampanyekan di keluarga, partai, dan gerakan pusat studi media,” ujarnya.
Terakhir, Netty Heryawan mengatakan, perempuan punya tanggung jawab untuk meyakinkan masyarakat bahwa perempuan dibutuhkan dalam substansi filosofi kehidupan bernegara.
”Perempuan harus ada di ruang kebijakan karena penghayatan dan pengalaman perempuan adalah dasar kebijakan. Itu tidak dirasakan laki-laki,” ujarnya.
Mengerikan
Sementara itu, Selly sepakat atas hasil survei yang banyak korelasinya dengan pengalaman dia selama berkiprah di politik. Selama 10 tahun sebagai legislator, dia merasakan sulitnya seorang perempuan melenggang di dunia politik. Kerap berbenturan dengan norma agama dan sosial.
”Saya merasakan sekali saat persaingan pileg. Selama di DPRD Jabar (2004-2014), saya punya basis politik. Tapi itu tak menjamin lolos saat berniat ke DPR RI. Ada faktor x, soal cost politic. Sekuat apa pun jaringan, jika dilawan pakai uang, sosok potensial pun tergerus,” ujarnya.
Terkait kurangnya sosialisasi peranan perempuan di ruang publik, Selly mengakuinya. Kini, dengan posisinya sebagai wakil bupati, dia bertekad memanfaatkannya untuk menyosialisasikan bahwa perempuan bisa memimpin daerah.
”Kalau di legislatif memang ruang sosialiasi itu sempit karena saya hanya mengawasi kebijakan. Di luar itu, saya meilhat peran perempuan di eksekutif dan legislatif kurang memanfaatkan media. Padahal, itu bisa menjadi corong,” ujar dia.
Akan tetapi, kata Selly, hal mengerikan penghambat perempuan menjadi pemimpin justru muncul dari sesama perempuan karena dianggap sebagai pesaing. ”Itu PR kita. Meski secara regulasi terbuka, tapi yang mengerdilkan kita ternyata kita sendiri. Ke depan dibikin bahwa ini bukan sesuatu yang menakutkan. Satu hal yang jadi pelajaran penting, sisi kehebatan perempuan tidak boleh menghilangkan sisi keibuan dan feminin,” ucapnya.***